Kumpulan Asuhan Keperawatan

Subscribe
Add to Technorati Favourites
Add to del.icio.us

The Wedding My Sister

Selasa, 21 Oktober 2008

ASUHAN KEPERAWATAN THYPUS ABDOMINALIS

1.DEFINISI
Thypus abdominalis adalah infeksi penyakit akut yang biasanya mengenai saluran cerna dengan gejala demam lebih dari 7 hari.Gangguan pada saluran cerna dan gangguan kesadaran.( Kapita Selekta Kedokteran jilid 2 ).
Demam typoid/paratypus abdominalis adalah penyakit inveksi akut usus halus.( Ilmu Penyakit dalam jilid 1 )
Typus abdominalis adalah penyakit infeksi akut, usus halus. Penyakit ini mempunyai tanda-tanda khas berupa perjalanan yang cepat yang berlangsung 3 minggu disertai dengan demam, toksemia, gejala-gejala perut, pembesaran limpa dan erupsi kulit.
Typus adalah kelompok yang mempunyai hubungan dekat dengan penyakit riketsia akut dan ditularkan melalui antropoda, yang berbeda dalam intensitas tanda-tanda dan gejala-gejalanya beratnya dan angka kematiannya. Semua kelompok ini ditandai dengan sakit kepala, mengigil, demam, stupor, dan erupsi makular, makulopapular, petekial atau papulovesikuler. ( Kamus Saku Kedokteran Dorland)

2. ETIOLOGI
Etiologi demam typoid dan demam para typoid salmonela typhi, salmonella paratyphi A, salmonella paratyphi B, dan salmonella paratyphi C.
Salmonella paratyphi basil gram negatif, bergerak dengan rambut getar, tidak berspora. Mempunyai sekurang-kurangnya empat macam antigen yaitu antigen O (somatik), H (flagela), VI dan protein membran hialin (Arif Mansjoer, M Saifoellah Noer).

3. PATOFISIOLOGI
Bakteri masuk melalui saluran cerna, dibutuhkan jumlah bakteri 105-109 untuk dapat menimbulkan infeksi. Sebagian besar bakteri mati oleh asam lambung. Bakteri yang tetap hidup akan masuk kedalam ileum melalui mikrofili dan mencapai plak payeri, selanjutnya masuk kedalam pembuluh darah ( disebut bakterimia primer ). Pada tahap berikutnya S. typhili menuju ke organ sistem retikuloendotelial yaitu : hati, limfa, sumsum tulang dan organ lain ( disebut bakterimia sekunder ). Kandung empedu merupakan organ yang sensitif terhadap infeksi S. typhili (Arief Mansjoer).

4. MANIFESTASI KLINIS
Masa tunas 7-14 ( rata-rata 3-30 )hari. Selama inkubasi mungkin ditemukan gejala prodromal berupa rasa tidak enak badan. Pada kasus khas terdapat demam remiten pada minggu pertama, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua , pasien terus dalam keadaan demam, yang turun terus berangsur-angsur pada minggu ketiga
Lidah kotor yang ditutupi selaput kecoklatan kotor, ujung dan tepi kemerahan, jarang disertai tremor. Hati dan limfa membesar yang nyeri pada perabaan. Biasanya terdapat konstipasi, tetapi mungkin normal bahkan diare (Kapita Selekta Kedokteran Arief Mansjoer).
5. KOMPLIKASI
Komplikasi demam typoid dapat di bagi dalam :
1.Komplikasi intestinal
a.Perdarahan usus
b.Perforasi usus
c.Ileus paralitik
2.Komplikasi ekstra-intestinal
a.Komplikasi kardiovaskuler
Kegagalan sirkulasi perifer ( Renjatan Sepsis ), miokarditis-trombosis dan tromboflebitis.
b.Komplikasi darah
Anemia hemolitik, trombositopenia dan atau disseminated intravaskuler coagulation ( DIC ) dan sindrom uremia hemolitik.
c.Komplikasi paru
Pneumonia, empiema dan pleuritis
d.Komplikasi hepar dan kandung empedu
Hepatitis dan kolesistis
e.Komplikasi ginjal
Glomerulonefritis, pielonefritis dan perinefritis.
f.Komplikasi tulang
Osteomilitis, periostitis, spondilitis, dan artritis.
g.Komplikasi neuropsikiatrik
Delirium, meningismus, meningitis, poli neurotis perifer, sindrom Guillain-Barre, psikosis dan sindrom katatoni (M. Sjaifoellah Noer)

6. PENATALAKSANAAN
Tirah baring total selama demam sampai dengan 2 minggu normal kembali. Seminggu kembali boleh duduk dan selanjutnya berdiri dan berjalan.
Makanan harus mengandung cukup cairan , kalori dan tinggi protein. Tidak boleh mengandung banyak serat, tidak merangsang maupun menimbulkan banyak gas.
Obat terpilih adalah Kloramfenikol 100 mg/kg BB/ hari dibagi dalam 4 dosis selama 10 hari. Dosis maksimal Kloramfenikol 2 gram/ hari. Kloramfenikol tidak boleh diberikan bila jumlah leukosit kurang dari 200/ UL bila pasien alergi dapat diberikan golongan penisilin atau kotrimokazol (Arief Mansjoer).

7. PEMERIKSAAN FISIK
# TTV ( tanda-tanda vital )
a.Suhu : antara 380C-400C
b.Nadi : meningkat
c.Pernafasan ( RR ) : meningkat
d.Tekanan darah : cenderung menurun
Keadaan umum : lemah, muka kemerahan, suhu meningkat ( 38C0-410C )
(Pemeriksaan Head to toe)
wajah : Pucat
Mata : Cowong
Mulut : Mukosa mulut kering, kadang terdapat stomatitis,lidah kotor.
Leher : Tidak terjadi pembesaran kelenjar tiroid, tenggorokan terasa sakit
Dada : Terjadi penarikan dinding dada karena pernafasan meningkat, tidak ada ronchi dan wezzing.
Abdomen : nyeri tekan pada perut, kembung, terdapat bising usus, mual muntah, anoreksia, konstipasi dan diare.
Genetalia : Pasien mengeluh sulit kencing
Ekstremitas : Kulit kering, turgor menurun

8.PEMERIKSAAN PENUNJANG
# Pemeriksaan Labolatorium
Pemeriksaan Leukosit
Walaupun menurut buku-buku disebutkan bahwa pada demam tipoid terdapat leukopenia dan limfositosis relatif, tetapi kenyataanya leukopenia tidak sering di jumpai. Pada kenyataan kasus demam tipoid, jumlah leukosit pada sediaan darah tetapi berada dalam batas batas normal, malahan kadang-kadang terdapat leukositosis, walaupun tidak ada komplikasa atau infeksi sekunder. Oleh karena itu pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk diagnisis demam tifoid. SGOT
Pemeriksaan dan SGPT
SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi kembali ke normal setelah sembuhnya demam tifoid. Kenaikan SGOT dan SGPT ini tidak memerlukan pembatasan pengobatan.
Biakan Darah
Biakan darah positif memastikan demam tifoid, tetapi biakan darah negatif tidak menyingkirkan demam tifoid . Hal ini disebabkan karena hasil biakan darah bergantung pada beberapa faktor, antara lain :
a.Teknik pemeriksaan labolatorium.
Hasil pemeriksaan satu labolatorium berbeda dengan yang lain, malahan hasil satu labolatoriumbisa berbeda dari waktu ke waktu. Hal ini disebabkan oleh perbedaan teknik dan media biakan yang digunakan. Karena jumlah kuman yang berada dalam darah hanya sedikit, yaitu kurang dari 10 kuman/ ml darah, maka untuk keperluan pembiakan, pada pasien dewasa di ambil 5-10ml darah pada anak-anak 2-5 ml.Bila darah yang di biak terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif, terutama pada orang yang sudah mendapat pengobatan spesifik. Selain itu, darh tersebut harus langsung di tanam pada media biakan sewaktu berada di sisi pasien dan langsung dikirim ke labolatorium. Waktu pengambilan darahpaling baik adalah saat demam tinggi pada waktu bakterimia berlangsung.
b.Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit
pada demam tifoid biakan darah terhadap S.typhi terutama positif pada minggu pertama penyakit dan berkurang pada minggu-minggu berikutnya . Pada waktu kambuh biakan bisa positif lagi.
c.Vaksinasi dimasa lampau.
Vaksinasi terhadap demam tifoid dimasa lampau menimbulkan antibodi dalam darah pasien. Antibodi ini dapat menekan bakteriemia, hingga biakan darah mungkin negatif.
d.Pengobatan dengan obat antimikroba. Bila pasien sebelum pembiakan darah sudah mendapat obat antimikroba pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan mungkin negatif.
Kepekaan S.typi Terhadap Obat Anti Mikroba
Strain S.typi yang resisten terhadap kloramfenikol pernah atau masih endemik di india, Meksiko, Muangthai, kamboja, Taiwan, Vietnam, dan peru. Sejak tahun 1975 S.typi yang resisten terhadap kloramfenikol dilaporkan secara sparodik di beberapa daerah di indonesia, tetapi persentasenya tidak meningkat.
Penelitian di labolatorium kesehatan Perum Bio Farma menunjukkan bahwa selama 1984 sampai 1990 S.typi dan S. paratypi A masih 100 % sensitif terhadap kloramfenikol 83,3 % sampai 100 % sensitif terhadap ampisilin dan 97 % sampai 100% sensitif terhadap otrimoksazol.
Uji Widal
Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi ( aglutinin ). Aglutinin yang spesifik terhadap salmonela terdapat dalam serum pasien demam tifoid, juge pada orang yang pernah ketulatan salmonela dan pada orang yang pernah di vaksinasi terhadap demam tifoid.
Antigen yang di gunakan pada uji widal adalah suspensi salmonela yang sudah dimatikan dan diolah di labolatorium. Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum pasien yang di sangka menderita demam typoid .
Akibat infeksi oleh S.typi, pasien membuat anti bodi ( aglutinin ), yaitu :
a.Aglutinin O, yang di buat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh kuman ).
b.Aglutinin H, karena rangsangan antigen H ( berasal dari flagela kuman ).
c.Aglutinin Vi, karena rangsangan antigen Vi ( berasal dari simpai kuman ).
Dari ketiga Aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang di tentukan titernya untuk di diagnosis. Makin tinggi titernya, makin besar kemungkinan pasien menderita demam tyfoid. Pada infeksi yang aktif, titer uji widal akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang di lakukan selang paling sedikit 5 hari(M. Sjaifoellah Noer).

9. TERAPI
Obat
Obat-obat antimikroba yang sering di pergunakan, ialah :
a.Kloramfenikol
b.Tiamfenikol
c.Ko-trimoksazol
d.Ampisilin dan amoksisilin
e.Sefalosporin generasi ke tiga
f.Fluorokinolon
a.Kloramfenikol
Di indonesia, kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama untuk demam tifoid. Belum ada obat anti mikroba lain yang dapat menurunkan demam lebih cepat di bandingkan kloramfenikol. Dosis untuk orang dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intramuskular tidak di anjurkan karena hidrolisis ester ini tidak dapat di ramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri . Dengan penggunaan kloramfenikol, demam pada demam tyfoid turun rata-rata setelah 5 hari.

b.Tiamfenikol
Dosis dan evektifitas tiamfenikol pada demam tyfoid sama dengan kloramfenikol. Komplikasi hematologis pada penggunaan tiamfenikol lebih jarang dari pada kloramfenikol. Dengan tiamfenikol demam pada demam tifoit turun setelah rata-rata 5-6 hari.
c.Ko-trimoksazol ( kombinasi trimetropin dan sulfametoksazol )
Efektifitas ko-trimoksazol kurang lebih sama dengan kloramfenikol. Dosis untuk orang dewasa, 2 kali 2 tablet sehari, digunakan sampai 7 hari bebas demam ( 1 tablet mengandung 80 mg trimetropin dan 400 mg sulfatmetoksazol ). Dengan kotrimoksazol demam pada demam tifoit turun rata-rata setelah 5-6 hari.
d.Ampisilin dan amoksisilin.
Dalam hal kemampuan untuk menurunkan demam, efektifitas ampisilin dan amoksisilin lebih kecil di bandingkan dengan kloramfenikol. Indikasi mutlak penggunaanya adalah pasien dengan demam tifoid dengan leukopenia. Dosis yang di anjurkan berkisar antara 75-150 mg/kg berat badan sehari, digunakan sampai 7 hari bebas demam. Dengan ampisilin atau amoksisilin demam pada demam tyfoid turu rata-rata setelah 7-9 hari.
e.Sefalosporin generasi ketiga.
Beberapa uji klinis menunjukkan bahwa sefalosporin generasi ketiga antara lain sefalosperazon, seftriakson dan sefotaksim efektif untuk demam tifoid, tetapi dosis dan lama pemberian yang optimal belum di ketahui dengan pasti.
f.Fluorokinolon.
Fluorokinolon efektif untuk demam tifoid, tetapi dosis dan lama pemberian yang optimal belum diketahui dengan pasti.
Kombinasi Obat Antimikroba
Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi obat-obatan anti mikroba tersebut di atas tidak memberikan keuntungn di bandingkan dengan pengobatan dengan pengobatan antimikroba tunggal, baik dalam hal kemampuanya untuk menurunkan demam maupun dalam hal menurunkan angka kejadian kekambuhan dan angka kejadian pengekskresian kuman waktu penyembuhan ( convalescen excretor rate )
Obat Anti Simtomatik
Antipiretika
Antipiretika tidak perlu diberika secara rutin pada setiap pasien demam tifoid, karena tidak banyak beerguna.
Kortikosteroid
Pasien yang toksik dapat di berikan kortikosteroid oral dan parenteral dalam dosis yang menurun secara bertahap ( tapering off ) selama 5 hari. Hasilnya biasanya sangat memuaskan, kesadaran pasien menjadi jernih dan suhu badan cepat turun secara normal. Akan tetapi kortikosteroit tidak boleh di berikan tanpa indikasi, karena dapat menyebabkan perdarahan di daerah intestinal dan relaps (M Sjaifoellah Noer).


10. ASPEK TEOTITIS KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Biodata
- Usia ( sering terjadi pada anak-anak tetapi bisa juga pada semua usia )
- Jenis kelamin ( tidak ada pebedaan yang nyata antara insidensi demam tifoid pada pria dan wanita )
- Pendidikan ( kebersihan makanan atau minuman )
2. Keluhan utama
Minggu pertama : demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi/diare peraaan tidak enak di perut, batuk dan epitaksis.
Minggu kedua : pasien terus berada dalam keadaan demam, yang turun secara berangsur-angsur pada minggu ketiga.
3. Riwayat penyakit sekarang.
Gejala yang timbul pada penyakit types/ tifoid.
Panas (suhu380C pada hari pertama )
Pasien mengigil
Pada hari ketiga panas meningkat , pucat nyeri pada abdomen, tekanan darah menurun , pemeriksaan laboratorium positif.
4. Riwayat penyakit dahulu.
Pasien sebelumnya pernah mengalami febris, DB, diare.
5. Riwayat penyakit keluarga
Dalam salah satu anggota keluarga tersebut ada yang menderita types, diare, DB, pada waktu bersamaan atau sebelum pasien mengalami penyakit tersebut (Arief Mansjoer, M Sjaifoellah Noer, Nursalam).
6. Pola fungsi kesehatan
a.Pola manejemen kesehatan
Tindakan pertama kali dilakukan yaitu mengukur suhu tubuh, kompres, mengkonsumsi banyak cairan.
b. Pola nutrisi kesehatan
Memperbanyak volume pemasukan cairan
Memberikan makanan yang halus seperti bubur halus
Pemberian vitamin dan mineral juga mendukung untuk mrmperbaiki keadaan umum pada pasien.
Makana tinggi serat bisa diberikan bila perlu.
c. Pola istirahat tidur
Pasien harus tirah baring mulai hari pertama sampai minimal hari ketujuh.
Mobilisasi dilakukan secara bertahap karena keadaan pasien berubah-ubah(mual, muntah, konstipasi, diare, nyeri kepala, lemah) dan untuk menghindari dekubitus .
Pasien tidak dapat tidur dengan nyenyak karna ada rasa tidak enak pada perut, pusing, mual.
d. Pola aktivitas
Pasien tidak dapat melaksanakan aktivitas seperti biasa karena tirah baring (bedrast) selama fase pertama.
Mobilisasi dilakukan secara bertahap karena keadaan pasien lemah.
e. Pola eliminasi
Pasien thypes ini biasanya mengalami dua macam penyakit yaitu konstipasi dan diare.
Retensi urine juga bisa terjadi pada pasien thypes.
Intake dan output cairan dan nutrisi dalam tubuh harus seimbang.
f. Pola hubungan dan peran
Pasien tidak bisa berisolasi dengan keadaan sekitar sehubungan dengan penyakitnya.
Keluarga juga ikut aktif dalam upaya penyembuhan pasien (Pola Gordon).

11. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1)Hipertermi b.d proses infeksi usus halus ( typoid )
2)Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d gangguan absorbsi nutrien, anoreksia dan ditandai dengan lidah kotor, mual, muntah.
3)Perubahan kenyaman ( nyeri perut ) b.d proses infeksi.
4)Perubahan kenyamanan ( mual ) b.d proses infeksi usus halus.
5)Konstipasi b.d peristaltik usus menurun akibat gangguan fungsi usus halus, kurang aktifitas.
6)Intoleransi aktivitas b.d badan lemah, nyeri perut.
7)Diare b.d gangguan absorbsi nutrien.
8)Resiko tinggi kekurangan volume cairan b.d mual, muntah, diare.
9)Ansietas b.d kurang pengetahuan tentang penyakit.
(Lynda Juall Capernito, Marilynn E Doengoes)
Diagnosa 1 “ Hipertermi b.d proses infeksi usus halus ”
Tujuan : Suhu tubuh klien kembali secara normal.
Kriteria hasil :
Mengidentifikasi faktor-faktor resiko hipertermi
Suhu tubuh relatif normal
Menurunkan faktor- faktor resiko hipertermi.
Intervensi :
1.Bina hubungan saling percaya antara pasien dan perawat.
R / : Hubungan pasien dengan perawat terjalin dengan baik.
2.Menjelaskan kepada pasien tentang faktor-faktor resiko hipertermi.
R / : Pasien dapat mengerti resiko hipertermi seperti dehidrasi, badan panas.
3.Memantau keadaan suhu tubuh pada klien.
R / : Untuk mengetahui perkembangan keadaan suhu tubuh pasien ( meningkat / menurun ).
4.Menjelaskan kepada pasien cara untuk mempertahankan secara normal.
R / : pemberian kompres, rehidrasi, lingkungan yang sehat.
5.Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat-obatan.
R / : Pemberian antipiretik dan analgesik
(Lynda Juall Capernito)
Diagnosa ke 2 : “ resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d gangguan absorbsi nutrien , anoreksia, di tandai dengan lidah kotor, mual, muntah.
Tujuan : Intake makanan terpenuhi dan adanya keseimbagangan output ( pengeluaran ).

Kriteria hasil :
Kebutuhan nutrisi klien terpenuhi.
Pasien mampu menghabiskan porsi makanan yang telah disediakan.
Adanya keseinbangan intake dan output.
Intervensi :
1.Lakukan pendekatan pasien dan keluarga pasien
R / : Pasien dan keluarga pasien kooperatif dalam tindakan keperawatan,
2.Berikan penjelasan kepada pasien dan keluarga pasien tentang manfaat cairan dan nutrisi bagi tubuh.
R / : Penjelasan tersebut bisa membuat pasien mengerti dan memahami sehingga kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi.
3.Pemberian nutrisi yang sesuai dengan keadaan pasien.
R / : Pemberian bubur halus sangat penting untuk pemenuhan nutrisi.
4.Observasi intake dan output cairan dan nutrisi pasien.
R / : Untuk mengetahui perkembangan keseimbangan cairan dan nutrisi dalam tubuh.
5.Memberikan makanan kepada pasien sedikit demi sedikit.
R / : Untuk menghindari mual, muntah pada pasien.
(Lynda Juall Capernito,Marilynn E Doengoes)
Diagnosa ke 3 : “ Konstipasi berhubungan dengan peristaltik usus menurun akibat gangguan fungsi usus halus, kurang aktifitas.
Tujuan : - BAB kembali normal.

Kriteria hasil :
Menunjukkan eliminasi yang membaik.
Frekwensi BAB normal ( kurang lebih 1 x sehari ).
Tidak ada nyeri saat defekasi.
Intervensi :
1. Berikan penjelasan kepada pasien dan keluarga pasien tentang kesulitan BAB yang di alami pasien.
R / : Agar pasien mengerti dan memahami tentang keadaan yang di deritanya.
2. Memberikan makanan yang tinggi serat pada pasien.
R / : Makanan tinggi serat memudahkan pasien BAB.
3. Menganjurkan pada pasien untuk mengkonsumsi minuman yang adekuat.
R / : Cairan yang adekuat membantu melancarkan BAB.
4.Hindari duduk terlalu lama dan mengejan terlalu kuat bisa menyebabkan pembuluh darah pecah.
R / : Duduk yang terlalu lama bisa menyebabkan kram pada ekstermitas bawah, mengejan terlalu kuat bisa menyebabkan pembuluh darah pecah.
5.Kolaborasi dengan tim dokter dalam pemberian pengobatan.
R / : Pemberian obat-obatan pencahar dan pelumas dubur.
(Lynda Juall Capernito)
Diagnosa ke 4 : “ Diare b.d gangguan absorbsi nutrien ”.
Tujuan : BAB kembali normal.
Kriteria hasil :
Diare berkurang
Frekwensi BAB normal ( kurang lebih 1 x sehari )
Mengurangi faktor penyebab.
Intervensi :
1.Berikan penjelasan kepada pasien dan keluarga pasien tentang diare yang di alami pasien.
R / : Agar pasien mengerti dan memahami tentang keadaan yang di deritanya.
2.Memperbanyak cairan tinggi kalium dan natrium ( jus jeruk, buah anggur ).
R / : Untuk mengganti cairan yang keluar dan untuk menyeimbangkan input dan output.
3.Anjurkam pasien untuk cuci tangan sebelum atau sesudah makan.
R / : Meminimalkan bakteri yang masuk dalam pencernaan.
4.Perawat mengkaji faktor-faktor penyebabpada pasien.
R / : Agar pasien mengerti dan memahami tentang penyebab penyakitnya.
5.Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian cairan dan obat- obatan.
R / : Pemberian cairan IV dan obat-obatan anti diare (oralit, antibiotik, parasetamol)
(Lynda Juall Capernito)
Diagnosa ke 5 :”Ansietas b.d kurang pengetahuan tentang penyakit”
Tujuan : Px dan keluarga mengerti dan memahami tentang faktor penyebab dan penyakitnya.
Kriteria Hasil :
Px mengerti tentang faktor penyebab penyakitnya
Px mengerti cara pencegahan penyakitnya
Ansietas px berkurang sehubungan dengan tingkat pengetahuan dan pemahaman tentang penyakitnya.
Intervensi :
1.Mengkaji tingkat ansietas px (ringan, sedang, berat) .
R / : Perawat mengetahui tingkat ansietas px dan dapat mengatasi tingkat ansietas px sesuai dengan keadaannya.
2.Memberikan penjelasan kepada px tentang faktor penyebab yang terjadi pada penyakit px.
R / : Px dapat mengerti dan memahami faktor penyebab terhadap penyakitnya.
3.Mengidentifikasi dan memberikan penjelasan tentang pencegahan penyakit px.
R / : Px mampu melakukan tindakan pencegahan yang disarankan perawat.
4.Memberikan penjelasan kepada keluarga dan px tentang cara tindakan penanggulangan setelah pulang dari RS.
R / : Agar px mengerti hal-hal yang dapat membuat terjadinya penyakit itu lagi.
(Lynda Juall Capernito)








DAFTAR PUSTAKA

Mansjoer, ARIF.2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 1. Media Aesculapius. Jakarta..
Mansjoer, ARIF. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Media Aesculapius. Jakarta.
Noer.N.M, Sjaifoelah,dkk. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1 Edisi 3. Balai Penerbit FKUI: Jakarta.
Carpenito. Lynda Jual. 2001. Diagnosa Keperawatan Edisi 8. ECG. Jakarta.
Nursalam. 2001. Proses dan Dokumentasi keperawatan. Salemba Medika : Jakarta.
Hudak, Gallo. 1997. Keperawatan Kritis. EGC: Jakarta.
Doengoes, Marilynn, E. !999. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien.ECG : Jakarta.
Carpenito, Lynda juall. 2000. Diagnosa keperawatan Edisi 6. EGC : jakarta.
Kumala, Poppy dkk. 1998. Kamus Saku Kedokteran Dorland Edisi 25.EGC : Jakarta.

Tidak ada komentar: